Manaqib al-Imam Muhammad al-Baqir
[Al-Imam Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]
Muhammad al-Baqir bin Ali
bin Husain (676–743), (Bahasa Arab: محمد ألباقر إبنعلي ) Ia
lahir pada tanggal 1 Rajab 57 Hijriyah, di Madinah.
Beliau
adalah Al-Imam Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib
(semoga Allah meridhoi mereka semua). Digelari Al-Baqir (yang membelah bumi)
karena kapasitas keilmuan beliau yang begitu mendalam sehingga diibaratkan
dapat membelah bumi dan mengeluarkan isinya yang berupa
pengetahuan-pengetahuan. Nama panggilan beliau adalah Abu Ja’far.
Al-Imam
Ibnu Al-Madiny meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah (semoga Allah meridhoi
mereka berdua) bahwasannya Jabir berkata kepada Imam Muhammad Al-Baqir yang
pada waktu itu masih kecil, “Rasulullah SAW mengirimkan salam untukmu.” Beliau
bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?.” Jabir menjawab, “Pada suatu hari
saya sedang duduk bersama Rasulullah SAW, sedangkan Al-Husain (cucu beliau)
lagi bermain-main di pangkuan beliau. Kemudian Rasulullah SAW berkata, ‘Pada
suatu saat nanti, dia (yaitu Al-Husain) akan mempunyai seorang putra yang
bernama Ali (Zainal Abidin). Jika hari kiamat datang, akan terdengar seruan,
‘Berdirilah wahai pemuka para ahli ibadah.’ Maka kemudian putranya (yaitu
Ali-Zainal Abidin) itu akan bangun. Kemudian dia (yaitu Ali Zainal Abidin) akan
mempunyai seorang putra yang bernama Muhammad. Jika engkau sempat menjumpainya,
wahai Jabir, maka sampaikan salam dariku.’ “
Beliau,
Muhammad Al-Baqir, adalah keturunan Rasul SAW dari jalur ayah dan ibu. Beliau
adalah seorang yang berilmu luas. Namanya menyebar seantero negeri. Ibu beliau
adalah Ummu Abdullah, yaitu Fatimah bintu Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib
(semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau dilahirkan di kota Madinah pada hari Jum’at, 12 Safar 57 H,
atau 3 tahun sebelum gugurnya ayahnya, Al-Imam Al-Husain.
Rasulullah pun Memberi Salam kepadanya
Ia dikenal sebagai ulama yang piawai dalam menguraikan
beberapa cabang ilmu agama. Reputasinya sebagai ulama yang alim sudah
diramalkan oleh Rasulullah SAW, sehingga beliau menyampaikan salam sebelum ia
lahir.
Di Madinah, pada 57 Hijriah, lahirlah jabang bayi yang
kemudian tumbuh menjadi seorang ulama besar, seorang waliyullah. Ia adalah
Sayid Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, atau
lebih dikenal dengan nama Sayid Muhammad Al-Baqir. Ia putra Sayid Ali Zainal
Abidin, ulama besar, sufi dan waliyullah yang sangat terkenal, dan cucu Imam
Ali bin Abi Thalib.
Tepatnya, ia lahir pada hari Jum’at, 12 Safar 57 H/657 M, sekitar tiga tahun
sebelum Imam Husein, cucu Rasulullah SAW, gugur dalam tragedi perang saudara di
Padang Karbala, Iraq. Ia mendapat gelar Al-Baqir, yang berarti “membelah bumi”,
karena kapasitas keilmuannya yang luar biasa, sehingga diibaratkan dapat
“membelah bumi”, mengeluarkan segala isinya yang berupa ilmu pengetahuan.
Ia juga dikenal sebagai ahli hadis, khususnya hadis-hadis
yang diriwayatkan dari Imam Hasan, Husein, Aisyah, Ummu Salamah, Ibnu Abbas,
Ibnu Umar, Abu Sa’id, Jabir, Samura ibnu Jundub, Abdullah ibnu Ja’far, Sa’id
ibnul Musayyab, dan para ulama terkemuka lainnya. Tradisi periwayatan hadis ini
dilanjutkan oleh putranya, Ja’far Ash-Shadiq, juga saudara-saudaranya yang
lain.
Nama Al-Baqir cukup mulia, karena Rasulullah SAW pernah berpesan kepada salah seorang sahabat, Jabir bin Abdullah Al-Anshari, “Sampaikan salamku kepadanya.” Ketika Jabir bertemu Al-Bagir, ia pun menyampaikan salam Rasulullah SAW. Kemudian Al-Baqir bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Lalu Jabir menceritakan sabda Rasulullah SAW kepadanya, “Wahai Jabir, hampir tiba masa lahirnya putra cucu Husein. Namanya mirip namaku, ia gemar menuntut ilmu. Jika engkau melihatnya, sampaikan salamku kepadanya.”
Sangat dermawan, ramah, dan suka bersilaturahmi, ia
sering berkata, ”Tiada kesenangan dunia, kecuali menyambung tali persaudaraan
dan persahabatan.” Bukan hanya itu, ia juga gemar memberi hadiah berupa
makanan dan pakaian yang sangat bagus kepada saudara-saudara dan
kawan-kawannya, serta orang-orang yang kurang mampu. Hal itu ia lakukan sejak
ia masih kecil.
Kepribadian dan reputasinya yang luar biasa dikenal secara luas. Suatu hari, Khalifah Hisyam ibn Abdul Malik masuk ke dalam Masjidil Haram. Lalu Salim, pengawalnya, menunjuk Al-Bagir sambil berkata kepada sang Khalifah, ”Wahai Amirul Mukminin, lelaki ini adalah Sayid Muhammad Al-Baqir. Banyak penduduk Iraq yang terpesona oleh kepribadiannya.” Maka, kata Amirul Mukminin, “Tanyakan kepadanya, apa yang dimakan dan diminum oleh manusia sampai setelah diputuskannya urusan mereka di Hari Kiamat?”
Mendengar pertanyaan itu, Al-Baqir menjawab, “Kelak
segenap manusia dihimpun di atas daratan yang bersih, dengan sungai-sungai yang
mengalir. Mereka makan dan minum sampai selesainya proses perhitungan amal-amal
mereka.” Khalifah Hisyam senang mendengar jawaban itu. Al-Baqir juga dikenal
sangat mencintai Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. ”Siapa yang tidak mengucapkan
Ash-Shiddiq di belakang nama Abu Bakar, Allah SWT tidak akan membenarkan
ucapannya,” katanya.
Selain itu ia juga sangat mengagumi Khalifah Umar bin
Khattab. ”Sesungguhnya aku berlepas diri dari orang yang membenci Abu Bakar
As-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Seandainya berkuasa, aku akan mendekatkan diri
kepada Allah dengan menumpahkan darah orang yang membenci mereka. Demi Allah,
sesungguhnya aku mencintai mereka dan senantiasa memohonkan ampun mereka. Tidak
seorang pun dari ahlul bait-ku kecuali ia mencintai mereka.”
Sebagai waliyullah, Al-Baqir banyak mewariskan
ujaran-ujaran tasawuf. Dari
sebagian kalam mutiara beliau adalah,
“Tidaklah
hati seseorang dimasuki unsur sifat sombong, kecuali akalnya akan berkurang
sebanyak unsur kesombongan yang masuk atau bahkan lebih.”
“Sesungguhnya
petir itu dapat menyambar seorang mukmin atau bukan, akan tetapi tak akan
menyambar seorang yang berdzikir.”
“Tidak
ada ibadah yang lebih utama daripada menjaga perut dan kemaluan.”
“Seburuk-buruknya
seorang teman itu adalah seseorang yang hanya menemanimu ketika kamu kaya dan
meninggalkanmu ketika kamu miskin.”
“Kenalkanlah
rasa kasih-sayang di dalam hati saudaramu dengan cara engkau memperkenalkannya
dulu di dalam hatimu.”
Beliau
jika tertawa, beliau berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau timpakan murka-Mu
kepadaku.”
Beliau
adalah seorang yang mencintai dua orang yang agung, yaitu Abubakar dan Umar
(semoga Allah meridhoi mereka berdua).
Diantara
kalam mutiara beliau yang lain, saat beliau berkata kepada putranya, “Wahai
putraku, hindarilah sifat malas dan bosan, karena keduanya adalah kunci setiap
keburukan. Sesungguhnya engkau jika malas, maka engkau akan banyak tidak
melaksanakan kewajiban. Jika engkau bosan, maka engkau tak akan tahan dalam
menunaikan kewajiban.”
Di
antara kalam mutiara beliau yang lain, “Jika engkau menginginkan suatu
kenikmatan itu terus padamu, maka perbanyaklah mensyukurinya. Jika engkau
merasa rejeki itu datangnya lambat, maka perbanyaklah istighfar. Jika engkau
ditimpa kesedihan, maka perbanyaklah ucapan ‘Laa haula wa laa quwwata
illaa billah’. Jika engkau takut pada suatu kaum, ucapkanlah, ‘Hasbunallah
wa ni’mal wakiil’. Jika engkau kagum terhadap sesuatu, ucapkanlah, ‘Maa
syaa’allah, laa quwwata illaa billah’. Jika engkau dikhianati,
ucapkanlah, ‘Wa ufawwidhu amrii ilaallah, innaallaha bashiirun bil
‘ibaad’. Jika engkau ditimpa kesumpekan, ucapkanlah, ‘Laa ilaaha
illaa Anta, Subhaanaka innii kuntu minadz dzolimiin.’ “
Beliau
wafat di kota
Madinah pada tahun 117 H (dalam riwayat lain 114 H atau 118 H) dan disemayamkan
di pekuburan Baqi’, tepatnya di qubah Al-Abbas disamping ayahnya. Beliau
berwasiat untuk dikafani dengan qamisnya yang biasa dipakainya shalat. Beliau
meninggalkan beberapa orang anak, yaitu Ja’far, Abdullah, Ibrahim, Ali, Zainab
dan Ummu Kultsum. Putra beliau yang bernama Ja’far dan Abdullah dilahirkan dari
seorang ibu yang bernama Farwah bintu Qasim bin Muhammad bin Abubakar
Ash-Shiddiq.
Komentar
Posting Komentar